Jakarta
Jakarta, qu’on appelle aussi la « ville de la victoire », représente l’espoir d’un avenir meilleur pour le peuple indonésien. Comme l’a décrite le poète Ajip Rosidi, Jakarta est « le second lieu de naissance » de tous et toutes, peu importe d’où on vient en Indonésie, là où on se retrouve pour chercher fortune. Tous ces gens se mélangent et contribuent au pouls particulier de la ville, qui est aujourd’hui l’une des plus populeuses et effervescentes du monde. Néanmoins, derrière l’espoir scintillant, Jakarta cache également des cauchemars qui hantent chacune des activités de ses citoyens. La pollution, les inondations, les bouchons de circulation, la pauvreté, le chômage et le crime sont des périls auxquels font face les habitants de Jakarta. Ces problèmes existaient déjà bien avant que Jakarta ne devienne une mégalopole et d’innombrables politiques gouvernementales et initiatives citoyennes ont tenté de les résoudre.
La migration massive vers Jakarta a créé divers problèmes, certes, mais leurs origines se perdent dans les siècles passés. Jakarta a toujours été vue paradoxalement comme une ville aussi révérée que maudite. Dans plusieurs textes littéraires écrits par des auteurs indonésiens, Jakarta est dépeinte comme la ville qui transforma Hanafi, le garçon paysan du roman Salah Asuhan, en jeune homme de la ville ayant perdu son sens moral, mais qui participa également à former son regard sur le peuple indonésien en tant qu’égal des nations occidentales et opposant au colonialisme. Le personnage de Si Doel dans le roman Si Doel Anak Betawi, d’Aman Datuk Madjoindo, grandit quant à lui au sein des tensions entre l’identité culturelle betawi et la modernité de Jakarta.
Le nom de Jakarta n’a cessé de changer au fil du temps. De Sunda Kelapa à Jayakarta, en passant par Batavia et Djakarta Tokobetshu Shi, chaque itération se voyait accompagnée d’un récit de conquête. La longue histoire de la conquête de Jakarta continue à ce jour, son flot ininterrompu comme celui du fleuve Ciliwung, qui abreuve toujours les habitants de Jakarta. Cette longue histoire oblige encore aujourd’hui les Jakartiens à lutter pour conquérir leur propre ville.
Fariq Alfaruqi
Sebagaimana makna yang terkandung pada namanya yaitu "kota kemenangan", Jakarta bagi masyarakat Indonesia adalah harapan akan perubahan nasib, impian pada masa depan yang lebih baik. Jakarta adalah "kota kelahiran kedua" kata penyair Indonesia, Ajip Rosidi. Dan dari waktu ke waktu, orang-orang dari berbagai penjuru Indonesia, dengan latar belakang sosial-budaya yang berbeda-beda, berbondong-bondong meninggalkan kampung halamannya yang permai dan bermigrasi ke kota Jakarta untuk mencari peruntungan. Mereka datang dari bahasa, kebiasaan hidup, warna kulit, serta kepercayaan yang beragam; baik sebagai pekerja kerah biru maupun sebagai pekerja kerah putih; dengan ijazah pendidikan yang mentereng maupun dengan modal pakaian yang melekat di badan belaka. Semua jenis manusia bercampur baur menjadi bagian dari denyut nadi kota Jakarta, serta turut serta membentuk wajah kota Jakarta. Tidak heran Jakarta kemudian menjelma jadi salah satu kota terpadat dan tersibuk di dunia. Bangunan-bangunan tinggi tumbuh bagai jamur di comberan, jalan layang silang-bersilang seperti lukisan yang dibuat tergesa, pemukiman tumpak-padat. Ada lebih dari 10 juta manusia yang berebut ruang hidup di Jakarta dan ada lebih dari 26 juta kendaraan yang berseliweran setiap hari di Jakarta.
Di balik harapan yang gemerlap tersebut, Jakarta juga menyimpan mimpi buruk yang senantiasa mengintai setiap aktivitas warganya. Mimpi buruk itu hadir dalam bentuk polusi, banjir, kemacetan, kemiskinan, pengangguran, atau kriminalitas. Setiap warga Jakarta hanya butuh sedikit kesialan saja untuk terjerembab dalam jebakan salah satu mimpi buruk itu yang kemudian akan melumat habis setiap impian yang ia bawa dari kampung halamannya. Tidak bisa dipungkiri bahwa migrasi besar-besaran menuju Jakarta yang tidak bisa dihentikan telah menimbulkan berbagai persoalan, meskipun entah telah berapa kebijakan pemerintah dan inisiatif warga yang coba mengurainya. Akan tetapi cikal-bakal persoalan tersebut telah ada jauh sebelum kota Jakarta tumbuh sebagai megapolitan seperti sekarang ini. Dalam berbagai teks sastra yang ditulis para sastrawan Indonesia dari masa sebelum kemerdekaan sampai saat ini, Jakarta selalu dimaknai secara paradoks sebagai kota yang dipuja sekaligus kota yang dikutuk. Di satu sisi, kota Batavia (nama lain Jakarta pada masa kolonialisme Hindia Belanda) telah mengubah Hanafi si anak kampung dalam novel Salah Asuhan karya Abdul Moeis menjadi anak kota yang kehilangan moralnya; namun di sisi lain, kota Batavia pula yang turut membentuk pandangan Hanafi bahwa rakyat Indonesia setara dengan bangsa Barat dan menentang praktik kolonialisme. Atau bagaimana paradoksal kota Jakarta tersebut tergambar pada sosok Si Doel dalam novel Si Doel Anak Betawi karangan Aman Datuk Madjoindo yang tumbuh dalam tegangan identitas kebudayaan Betawi dengan identitas modern kota Jakarta.
Jakarta memang tidak akan pernah bisa diringkus dalam definisi yang tunggal, sebagaimana nama kota Jakarta yang terus berubah dari masa ke masa. Pada abad-abad lampau, Jakarta pernah dikenal sebagai Sunda Kelapa, Jayakarta, Batavia, Djakarta Tokobetshu Shi dan masing-masing pergantian nama tersebut senantiasa diiringi dengan narasi tentang penaklukkan. Kerajaan Sunda menaklukkan Kerajaan Tarumanegara dan Jakarta disebut sebagai Sunda Kelapa, Bangsa Portugis berebut pelabuhan dengan Kerajaan Sunda dan Jakarta diberi nama Jayakarta, Bangsa Belanda mengkolonialisasi Indonesia dan Jakarta berganti menjadi Batavia, Bangsa Jepang datang dan Jakarta mesti disebut Tokobetshu Shi. Barangkali sejarah panjang penaklukkan kota Jakarta tersebut terus mengalir sampai hari ini seperti aliran Sungai Ciliwung yang meskipun keruh namun terlanjur menghidupi warga kota Jakarta. Sejarah panjang yang memaksa warga Jakarta hari ini untuk terus bergumul menaklukkan kota Jakarta.
Fariq Alfaruqi
Jakarta, also known as “the city of victory,” is the hope for a better future for the Indonesian people. As the poet Ajip Rosidi described it, Jakarta is their “second birthplace,” where people of all backgrounds come from across Indonesia to seek their fortunes. They mix together and leave their mark on the city, which has become one of the most populous and busiest in the world. However, behind the glittering hope, Jakarta also harbors nightmares that haunt its citizens’ every move. Jakarta residents face daily challenges including pollution, floods, traffic jams, poverty, unemployment and crime. These problems existed long before Jakarta grew into a megacity, and countless government policies and citizen initiatives have attempted to address them.
Mass migration to Jakarta has created new problems, but the roots of these problems have existed for centuries. Jakarta has always been viewed in paradox, as a city that is both revered and cursed. In literary texts written by Indonesian writers, Jakarta is depicted as a city that transformed Hanafi, the village boy in the novel Salah Asuhan, into a city boy who loses his moral compass but gains an understanding of the Indonesian people as equals of Western nations and opposed to colonialism. The character Si Doel in Aman Datuk Madjoindo’s novel Si Doel Anak Betawi grows up amidst tensions between Betawi cultural identity and Jakarta’s increasing modernity.
Jakarta's name has continuously changed over time. From Sunda Kelapa, Jayakarta, Batavia and Djakarta Tokobetshu Shi each name change was accompanied by a change in power. Jakarta’s long history of conquest continues unabated, like the Ciliwung River that sustains its people to this day. Residents of Jakarta are still struggling to win back their own city.
Fariq Alfaruqi